Pasar Surat Berharga Negara (SBN) kurang diminati belakangan ini. Hal itu tercermin dari sedikitnya penawaran masuk pada lelang surat utang pemerintah Republik Indonesia (RI).
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, total penawaran masuk selama bulan September pada lelang SBN dan SBSN hanya sekitar Rp 108,03 triliun. Angka ini lebih rendah dibandingkan penawaran bulan Agustus sebesar Rp 130,65 triliun dan penawaran di bulan Juli sebesar Rp 136,864 triliun.
Teranyar, lelang SBSN atau sukuk terpantau minat investor sangat rendah pada Selasa (10/10) kemarin. Penawaran masuk pada lelang Sukuk hanya tercatat Rp 10,75 triliun yang merupakan incoming bid terendah selama lelang SBN ataupun SBSN di tahun 2023.
Chief Economist PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto mengamati, lesunya lelang SBN dalam beberapa minggu terakhir disebabkan oleh meningkatnya sentimen eksternal, yang mana mendorong arus keluar modal dari pasar SBN. Salah satu faktor utamanya adalah kenaikan yield obligasi di Amerika Serikat (AS).
Imbal hasil obligasi AS yang terus bergerak naik itu seiring dengan kenaikan tingkat inflasi dalam dua bulan berturut-turut, dari 3,0% di Juni menjadi 3,2% di Juli dan 3,7% di Agustus. Kenaikan ini telah mendorong lebih banyak ekspektasi bahwa era suku bunga tinggi akan bertahan lebih lama daripada yang diantisipasi.
Bagi Indonesia, kenaikan yield tersebut turut mendorong kenaikan yield domestik. Meski tingkat inflasi naik, real yield AS telah kembali positif setelah di tahun sebelumnya berada di teritori negatif.
Darto menyoroti, yield US Treasury tenor 10 tahun menawarkan premi 110 bps di atas tingkat inflasi AS. Kondisi ini kemudian menarik investor asing untuk lari ke sana, mengingat berinvestasi di pasar AS lebih likuid dan tidak terekspos risiko translasi seperti ketika mereka berinvestasi di Indonesia.
“Investor asing juga meminta premi yang lebih tinggi mengingat rupiah lebih volatil. Kita lihat rupiah kembali tertekan dan berada di level Rp 15.700 setelah sebelumnya bergerak di sekitar Rp15.000 per dolar AS,” jelas Darto kepada Kontan.co.id, Rabu (11/10).
Darto berujar, surplus dagang yang menyusut, tekanan arus keluar modal asing, dan selisih atau spread suku bunga acuan yang tersempit sepanjang sejarah antara suku bunga domestik dengan AS telah membuat rupiah rentan terhadap aktivitas spekulatif, sehingga memaksa bank sentral untuk mengintervensi.
Baca Juga: Peminat Lelang SBN Turun Sejak Tiga Bulan Terakhir, Ini Penyebabnya
Kondisi tersebut pula yang mendorong keluar investor asing di pasar modal Indonesia termasuk SBN. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aliran keluar atau outflow SBN tercatat sebesar Rp 23,30 triliun (month to date/mtd) per 29 September 2023.
“Investor global mulai menghindari negara-negara dengan neraca pembayaran yang rentan terhadap berakhirnya booming komoditas karena membuat nilai tukar mereka menjadi lebih berisiko. Selain itu, di tengah ketidakpastian akibat suku bunga ekstra tinggi saat ini, investor asing berusaha mencari aset-aset yang lebih aman dan berkualitas,” papar Darto.
Berdasarkan data Bloomberg, Darto mencermati bahwa beberapa investor asing telah masuk ke pasar obligasi Korea Selatan, Filipina dan India. Hal itu tercermin dari beli bersih yang investor tersebut bukukan.
Belum lagi, Darto menambahkan, saat ini pasar finansial tengah diselimuti sentimen perang Israel-Palestina yang menciptakan kondisi kehati-hatian. Perang tersebut akan menambah risiko geopolitik, selain dari perang Rusia-Ukraina.
Apabila perang kian meluas dan melibatkan negara-negara Arab, maka dikhawatirkan akan mengulang perang Arab-Israel para tahun 1970-1980. Situasi tersebut akan berdampak pada harga minyak yang pada akhirnya berdampak luas pada perekonomian dan pasar keuangan.
“Lonjakan harga minyak akan membuat tingkat inflasi akan semakin sulit untuk turun ke level target. Sebagai hasilnya, suku bunga tinggi bisa berlangsung lebih lama dari perkiraan sebelumnya,” imbuh Darto.
Walaupun demikian, Darto menjelaskan bahwa minat lelang sebenarnya telah kembali ke level sebelum pandemi di mana bid-to-cover ratio berada di sekitar 1,5-2,5 kali. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, investor banyak meminati lelang karena ingin mendapatkan kupon tinggi.
“Kenaikan yield baru-baru ini pun berpotensi mendorong kembali kupon untuk bergerak naik saat lelang pada pekan-pekan mendatang. Sehingga hal ini akan menarik kembali minat investor,” pungkas Darto.
Sumber: kontan.co.id
Komentar
Posting Komentar